Minggu, 04 November 2012

7 Istilah Bahasa Arab yang Sering Salah Digunakan dalam Percakapan Sehari-hari

 

1. Muhrim

Eh kita kan bukan muhrim, jadi nggak boleh salaman.
Kata muhrim sering sekali kita dengar dan semua orang sudah mahfum dengan artinya yang “lawan jenis yang tidak boleh dinikahi” entah karena faktor sebab sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan. Dengan kata lain, bukan muhrim berarti orang yang boleh dinikahi.
Kata muhrim di dalam bahasa arab berasal dari akar kata حرم – haruma : menjadi terlarang. Kata ini kemudian berubah bentuk menjadi kata  حرام (haraam), kemudian أحرم – ahrama (pengharaman), kemudian menjadi الإحرام – ’al ihraamu‘ (ibadah yang ada hal yang diharamkan atasnya, haji atau umrah) dan kemudian محرم – muhrim (orang yang berihram). Urutan perubahan yang lebih jelas silakan rujuk ke artikel aslinya. Intinya dengan jalur perubahan seperti ini, kata muhrim berarti orang yang berihram, bukan orang yang tidak boleh dinikahi seperti yang dipakai di Indonesia.
Orang yang haram dinikahi disebut mahram. Kata mahram berbeda penurunannya dari kata muhrim. Akan tetapi, kedua kata ini dipahami di Indonesia sebagai orang yang haram dinikahi.

2. Penulisan Wallahu ‘Alam

Banyak orang menulis kalimat yang bermakna “Dan Allah-lah yang Maha Tahu” dengan kalimat transliterasi wallahu ‘alam. Jika diperhatikan, penempatan apostrofnya salah. Kata ‘alam dalam bahasa Arab berarti alam dengan kata lain wallahu ‘alam berarti “Dan Allah itu Alam”. Alam ini tidak jelas maksudnya alam yang bagaimana, sehingga penulisan tersebut salah.
Penulisan yang benar adalah wallahu a’lam. Kata a’lam diambil dari  الله أعلم. Kata a’ yang ditransliterasikan dari ع inilah yang berarti lebih pada kalimat tersebut.

3. Minal Aidin Wal Faizin

Pesan ini biasa disampaikan menjelang atau pada saat lebaran. Pengucapnya menyampaikan hal ini dengan maksud untuk meminta maaf satu sama lain. Mereka memiliki mindset bahwa arti kalimatnya adalah mohon maaf lahir dan batin.
Kata minal aidin wal faizin secara literal berarti “dari (yang) kembali dan menang”. Mungkin jika dikonstruksi, maksudnya bisa menjadi ”Semoga Anda termasuk orang-orang yang kembali (ke jalan Tuhan) dan termasuk orang yang menang (melawan hawa nafsu).” Yang jelas artinya bukan mohon maaf lahir dan batin.
Yang perlu dicatat juga, istilah ini hanya dikenal di satu negara : Indonesia. Memang istilah ini berasal dari bahasa Arab tetapi orang Arab yang mendengarnya tidak akan mengerti maksudnya apa.
Ucapan “Minal ‘Aidin wal-Faizin” tidak disarankan untuk diucapkan pada hari raya. Disunnahkan mengucapkan sebagaimana yang Rasulullah ucapkan “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan”.

4. Silaturahmi vs Silaturahim

Kata silaturahmi sering digunakan sebagai kata yg menggambarkan aktivitas hubungan antar sesama manusia. Aktivitas yg dimaksud adalah aktivitas saling mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Kata ini kian populer menjelang dan selama bulan Syawal, saat idul Fitri, meski kata ini juga sering digunakann dalam hal lainnya.
Sebenarnya bisa dibilang silaturahmi adalah sebuah salah kaprah, karena jika merujuk kepada asal katanya, bahasa Arab, maka kata yg benar adalah SILATURAHIM.
Memang jika ditinjau penyusun kata, kata silaturahmi dan silaturahim, merujuk pada bahasa Arab, mempunyai huruf penyusun yg sama. Yang membedakan adalah akhirannya yangg otomatis akan mempengaruhi artinya.
Silah itu berarti menyambungkan. Sementara rahmi mempunyai arti rasa nyeri yg timbul (dan diderita sang ibu) pada saat melahirkan. Adapun rahim adalah kasih sayang (ingat: ALLAH SWT mempunyai sifat Ar Rahim, Yang Maha Penyayang).
Dengan demikian, silaturahim = hubungan kasih sayang, sedangkan silaturahmi = penghubung uterus (tali pusar yg menghubungkan ibu dan anak).

5. Idul Fitri artinya kembali suci atau pada fitrah

Sering kita dengar orang mengartikan frasa idul fitri dengan kembali suci atau kembali pada fitrah. Hal ini ditambah dengan gambaran bahwa setelah ramadhan, yang menjalankan ibadahnya dengan baik akan seperti bayi yang baru dilahirkan: suci dan fitrah.
“Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan penuh pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhori Muslim).
Namun, secara kebahasan this is not the case.  Fitri disini maksudnya adalah berbuka atau kondisi tidak berpuasa. Jadi yang dimaksud idul fitri adalah kembali berbuka atau hari raya menyambut berbuka. Karenanya dalam hari idul fitripun kita dilarang untuk berpuasa. Makna fitri dalam arti berbuka bisa kita ambil dengan mudah dalam hadits berikut :
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraan ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. (HR Bukhori).

6. Penulisan Wa’alaikumsalam

Kata di atas adalah transliterasi yang sering digunakan dari jawaban salam. Akan tetapi, penulisan tersebut kurang tepat.
Penulisan yang tepat adalah wa’alaikumussalam karena dipakai untuk menjawab assalamu’alaikum. Kecuali kalau salamnya salamun’alaikum maka tidak masalah dijawab wa’alaikumsalam(un). 
Penulisan kurang tepat yang lain yang juga sering dilakukan adalah hilangnya apostrof (‘) pada kedua frasa assalamu’alaikum dan wa’alaikumussalam. Apostrof ini adalah bentuk pentransliterasian dari huruf ‘ain (ع) . Transliterasi (yang menggunakan apostrof, ع menjadi ‘ain) ini didasarkan pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158/1987 dan 0543b/U/1987 tanggal 22 Januari 1988.
Akan tetapi, penghilangan apostrof juga bisa didebatkan karena dalam tata Ejaan Yang Disempurnakan bahasa Indonesia tidak menggunakan apostrof. Sama seperti kata Al Quran, Jumat, dan doa. Tidak ada tanda petiknya. Akan tetapi, tata EYD itu biasanya diterapkan untuk kata-kata yang sudah diserap. Untuk kata yang langsung dari bahasa aslinya ini saya kurang tahu. Jika merujuk SKB Menteri Agama dan Mentri Dikbud tadi, saya menyarankan untuk memakai transliterasi yang seharusnya pada dokumen resmi. Untuk penulisan kasual (misalnya SMS atau email), saya rasa tidak masalah.  Kedua bentuk (memakai dan tidak memakai apostrof) sudah lazim digunakan dan seluruh pengguna bahasa Indonesia sepertinya sudah mafhum bahwa penulisan itu merujuk ke kalimat yang sama.

7. Penulisan Akhwat

Sering kita mendengar sebutan yang memiliki konotasi halus ini digunakan untuk memanggil perempuan. Sebutan ini pun sering diasosiakan untuk muslimah yang sudah berjilbab khususnya sering dipakai oleh kalangan aktivis.

Kata ini merupakan bentuk jamak dari saudara perempuan ukhti atau /ukht/ (أخت).  Tulisan jamaknya adalah أخوات yang mestinya dibaca /akhawat/. Dengan demikian, penulisan yang biasa kita lihat ini sebenarnya transliterasi yang kurang tepat.

Sayangnya (atau syukurnya), kata ini sudah diserap menjadi kata dalam bahasa Indonesia sehingga kita punya aturan penulisan sendiri yang bisa dirujuk. Karena kata tersebut diserap, transliterasi (yang sebenarnya kurang tepat) ini sudah diformat-EYDkan dengan menghilangkan huruf a pada kha. Dengan demikian, frasa yang sudah sering kita dengar tadi sudah benar menurut bahasa Indonesia. Menurut KBBI Daring.

akh·wat Ar n (bentuk jamak) 1 saudara perempuan; 2 teman perempuan

Yah, karena negara ini Indonesia memakai bahasa Indonesia, bentuk yang lazim demikian (walau kurang tepat) dan sudah diputuskan menjadi bentuk baku, saya (penulis blog ini) tetap menyarankan memakai bentuk yang ada di KBBI. Akan tetapi, jika Anda menyebut kata ini kepada orang arab, jangan lupa memakai pengucapan yang benar /akhawat/ (أخوات).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar